Transisi Energi Baru dan Terbarukan Sebagai Antisipasi Pemanasan Global
Pemanasan global pada masa kini telah menjadi perhatian dunia. Emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim memiliki dampak yang signifikan. Dampak yang terjadi akibat pemanasan global diantaranya yaitu:
– Meningkatnya gas rumah kaca akibat pembakaran bahan bakar fosil.
– Polusi yang diakibatkan oleh sampah plastik yang tidak dapat di daur ulang.
– Polusi udara dari asap industri pabrik juga memiliki kontribusi negatif terhadap pemanasan global.
– Kerusakan hutan akibat penebangan liar dan kebakaran hutan juga dapat memicu pemanasan global, sebab hutan merupakan penghasil oksigen serta dapat menyerap karbondioksida.
– Penggunaan chlorofluorocarbon (CFC) yang merupakan bahan kimia yang diproduksi oleh kulkas atau pendingin ruangan yang jika digunakan secara berlebihan dapat memberikan efek negatif terhadap pemanasan global.
Untuk meletakkan perhatian penuh kepada keberlanjutan lingkungan hidup dan mengatasi pemanasan global, diperlukan adanya transisi energi atau penggunaan sumber daya yang lebih ramah lingkungan. Transisi energi yang dapat menekan produksi gas rumah kaca menjadi awal yang baik untuk menjaga stabilitas lingkungan dunia.
Akan tetapi, dalam eksekusi transisi energi tersebut diperlukan adanya investasi besar dan mahal untuk membeli bahan baku serta mengganti alat-alat energi terdahulu. Dalam jangka pendek, transisi energi dapat menyebabkan inflasi terhadap kondisi makro ekonomi sebuah negara bahkan bisa merambat kepada ekonomi global.
Pemicu Hadirnya Fenomena Greenflation
Transisi perubahan penggunaan energi ramah lingkungan memiliki banyak metode penerapan. Dalam eksekusi perubahan energi, diperlukan adanya modal yang besar dalam penggantian peralatan, struktur, material, hingga teknik penerapan untuk perubahan penggunaan dari energi fosil menjadi energi ramah lingkungan. Greenflation terjadi ketika penggunaan energi yang dialokasikan dari energi fosil ke energi hijau dapat mempengaruhi kenaikan harga berskala nasional maupun internasional. Fenomena ini memperlihatkan kenaikan harga terhadap bahan-bahan pokok yang disebabkan oleh peralihan penggunaan energi fosil menjadi energi ramah lingkungan.
Total permintaan mineral untuk menghasilkan teknologi rendah karbon menurut Badan Energi Internasional diperkirakan meningkat empat kali lipat pada tahun 2040 dengan asumsi bahwa tujuan Perjanjian Paris tercapai. Contohnya seperti lithium sebagai bahan baku pembuatan penyimpanan energi listrik portabel yang pada tahun 2025 hingga 2035 diperkirakan akan meningkat hingga empat kali lipat. Lithium hanya dipasok oleh beberapa produsen, 91% dari lithium pada tahun 2022 hanya dihasilkan oleh 3 negara (Tiongkok, Chili, Australia). Dengan kombinasi kenaikan permintaan dan terbatasnya pasokan menyebabkan kenaikan harga lithium hingga 6 kali lipat sejak Tahun 2009. Sedangkan di sisi lain 52% dari produksi kobalt dunia pada tahun 2020 hanya diproduksi oleh Republik Rakyat Kongo. Peningkatan permintaan dalam jangka pendek akan memicu adanya keterbatasan pasokan bahan baku penunjang transisi energi sehingga dapat menyebabkan inflasi. Kenaikan harga energi dapat memicu terjadinya masalah ekonomi dan gejolak sosial.
Transisi energi memerlukan sinyal harga dalam menaikkan harga produk-produk rumah tangga. Tindakan kenaikan harga oleh pemerintah dapat dilakukan secara langsung melalui pajak maupun tidak langsung melalui regulasi secara nasional. Peningkatan harga barang secara implisit dapat terjadi pada pengaturan proses produksi, perdagangan, dan konsumsi barang. Penerapan pajak karbon untuk konsumsi perusahaan-perusahaan juga menjadi salah satu opsi bagi pemerintah. Perusahaan akan beroperasi dengan dibebankan pajak per-ton CO2 yang dihasilkan dari proses produksi. Dengan penerapan ini, para perusahaan industri akan mengeluarkan biaya lebih untuk operasional produksi. Sehingga sebagian besar peningkatan biaya dibebankan kepada harga jual produk. Proses ini akan menciptakan inflasi secara masif dan akan membebani masyarakat.
Bagi produsen, greenflation dapat meningkatkan biaya produksi. Sehingga dibutuhkan investasi dan biaya yang cukup besar dalam menunjang transisi energi. Bagi konsumen, dampak greenflation dirasakan dengan peningkatan harga produk sehingga membuat masyarakat atau konsumen perlu mengeluarkan lebih banyak biaya untuk membeli kebutuhan harian atau layanan primer lainnya. Hal ini berdampak pada mengurangnya kemampuan masyarakat dalam membeli barang tambahan atau peningkatan kualitas hidup.
Dalam mengatasi pemanasan global, transisi energi harus tetap dilakukan. Namun, kesejahteraan masyarakat juga tetap harus menjadi perhatian bagi para pemangku kepentingan. Sehingga, solusi transisi energi tetap sejalan dengan kesejahteraan masyarakat.